“Perbedaan antara orang pintar dan orang bijaksana adalah orang pintar tahu apa yang harus dikatakan, sementara orang bijaksana tahu perlu atau tidak kalimat tersebut dikatakan” – Frank M Garafola –
“Yaa gitu deh.”
Seberapa sering kita mendengar kalimat seperti ini? Mungkin sudah tak terhitung banyaknya. Rasanya cukup sulit untuk memahami maksud si pembicara tanpa adanya probing lebih lanjut. Karena memang pada dasarnya kalimat ini tidak memiliki makna, atau meaningless words. Di beberapa literatur juga didapatkan istilah yang tak jauh berbeda, yaitu powerless words dan vocalizers.
Sayangnya, kalimat tanpa makna ini tidak hanya muncul pada percakapan sehari-hari, tetapi juga dapat muncul dalam sebuah forum formal. Kata-kata ini juga dapat muncul dalam sebuah diskusi, seminar, ataupun wawancara di televisi. Tak jarang kita temukan seorang pembicara yang sangat cerdas namun menjawab pertanyaan dari pembawa acara dengan kata-kata seperti “Gitu loh”. Contoh lain yang sering terucap adalah “Umm…” atau “Eeeeh…” yang seringkali dipergunakan untuk mengisi kekosongan atau jeda berpikir saat sedang berbicara. Padahal, penggunaan kata-kata ini dapat menimbulkan kesan negatif pada pembicara. Salah satunya menyebabkan pembicara terlihat tidak memiliki rasa percaya diri, tidak yakin, tidak siap berbicara, atau lebih lagi terlihat tidak terlalu cerdas (Hunt, 1981; Berkley, 2002).
Menurut ketiga pendiri sekolah TALK-inc, Sriewijono, Tumewu, & Parengkuan (2008), ada tiga alasan yang menjelaskan penyebab seringnya kata-kata tanpa makna tersebut kita ucapkan. Pertama, sebagian besar orang berbicara tanpa berpikir. Kata-kata spontan ini seringkali muncul apabila tidak tersedia waktu untuk berpikir, atau karena sedang tidak terpikir apa yang akan dibicarakan. Misalnya ketika seorang pembicara yang tiba-tiba ditanya oleh pendengar atau ketika pertanyaan dari pendengar cukup menyulitkannya.
Kedua, sebagian besar orang berbicara hanya dari sudut pandangnya. Terkadang seorang pembicara lupa bahwa pendengarnya tidak memiliki sudut pandang dan kerangka berpikir yang sama. Misalnya pembicara lupa bahwa pendengarnya belum tentu memiliki pengetahuan dasar yang sama dengannya. Sehingga, pembicara sering menggunakan kata “ya begitu” tanpa menjelaskan apa makna “begitu” yang dia maksud.
Ketiga, sebagian besar orang berbicara tanpa memperhatikan dampaknya. Banyak orang yang tidak mempertimbangkan akibat dari kata-kata yang dikeluarkannya. Seperti misalnya pernyataan “kasian deh lo” seperti sudah tidak jelas tujuannya. Apakah kalimat ini untuk menyatakan empati atau sedang mengejek. Sayangnya, banyak orang yang berkomentar seperti itu namun tidak mempertimbangkan kemungkinan pengaruhnya terhadap orang yang diajak bicara.
Melihat akibat negatifnya, kata-kata tanpa makna ini dapat menjadi “virus” bagi seorang pembicara. Oleh karena itu, ada beberapa tips untuk meminimalisir penggunaan kata-kata ini.
1. Diagnosa masalah. “Virus” ini bersifat unconscious, sehingga terkadang kita tidak sadar telah mengucapkannya. Salah satu cara untuk mendiagnosa seberapa besar “virus” ini telah mempengaruhi penampilan kita adalah dengan merekam ketika kita sedang berbicara di depan umum. Kemudian, dengarkan kembali rekaman tersebut dan tandai ketika kata-kata tersebut terucap. Hal ini dapat melatih pendengaran kita agar mampu cepat mengidentifikasikan kata-kata tanpa makna tersebut.
2. Berhenti bicara ketika tiba-tiba menyadari pengucapan kata-kata tanpa makna tersebut, atau saat merasa kata-kata tersebut akan keluar. Oleh karena itu, penting sekali kemampuan yang didapat dari poin pertama di atas. Jangan merasa takut untuk diam sebentar di sela-sela presentasi, karena ternyata apabila tidak lebih dari 5 detik, pendengar tidak akan terlalu menyadari hal tersebut. Selain dapat membantu mengumpulkan kata-kata yang sempat hilang tersebut, pause tersebut juga sekaligus memberikan waktu bagi pendengar untuk merefleksikan apa yang baru saja pembicara katakan. Apabila keheningan sesaat itu masih terasa menakutkan, tarik nafas, baru mulai bicara. Hal ini dapat membantu tetap tenang, dan pause tersebut tidak lagi terasa begitu menakutkan.
3. Minta bantuan pada teman ataupun keluarga. Minta mereka untuk mengingatkan kita apabila kata-kata tersebut muncul. Apabila hal ini konstan dilakukan, mampu membantu menghilangkan kebiasaan buruk ini lebih cepat.
Jadi, ingin menjadi orang pintar atau orang bijaksana?
Referensi
Berkley, S. (2002, February 7). How to Cure the “Verbal Virus” A Five-Step Treatment Plan. Retrived October 19, 2009, from School for Champions : http://www.school-for-champions.com
Hunt, G. T. (1981). Public Speaking. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Sriewijono, A., Tumewu, B., & Parengkuan, E. (2008). TALK-inc. points. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar